Bukan niat saya
untuk mengurus-ngurus orang lain, mengintip-ngintipi urusannya, atau
membuntut-buntuti gerak-geriknya, apalagi menjaga atau mengaturnya.
Sebab, menjaga diri saya sendiri saja yang bobrok ini sudah
kewalawan. Hanya saja, mungkin saja, andai saja dia sakit dengan catatan
ini dapat menjadi sehat kembali; andai saja dia lusuh dapat segar bugar
kembali; andai saja dia down bisa semangat kembali; dan paling
tidak, menjadi penghibur saja. Asal, tidak menjadi pembungkus kacang
atau lap tangan, atau bahkan menyakitkan. Catatan saya ini tidak
diniatkan demikian.
Dulu, saya
pernah menulis “pelita suram di pesantren” tentang seorang gadis
santriwati neng (putrinya kiai) yang hobinya berpacaran pada khususnya,
dan pada umumnya fenomena romantisme di dunia pesantren, yang diambil
dari cerita temannya teman saya. Kali ini, masih tetap soal santriwati
neng yang binal itu. Intinya, ini masih lanjutannya, meski bukan cerita
berlanjut, yang kalau dulu itu kesannya sangat seru dan menggelikan,
yang sekarang ini lebih menyerukan sekaligus mengacak-ngacak hati alias
menjengkelkan.
Bagini,
temannya teman saya yang dulu itu (dalam catatan, “pelita suram di
pesantren”), setelah melihat banyak teman santriwatinya yang prilaku
pergaulannya miri-miring alias kurang wajar sebagai santri
terkhusus yang neng itu, dia mencoba menulis sesuatu sebagai “saling
mengingatkan”, mungkin, yang biasa dikirim kepada neng itu. Agar neng
yang sempat dia kagumi atau dia emani itu (bukan cinta) tidak terjatuh ke dalam perigi asmara yang lebih dalam lagi atau cara bercinta yang kebablasan terang-terangan sebagai seorang santri yang neng, putrinya kiai gedhe pengasuh pondok pesantren yang amat religius, Tahfidzil Al-Quran.
Apa isi
catatannya, apakah seperti wasiat atau nasehat seorang kiai? Tentu tidak
seperti itu. Hanya berisi kisah-kisah khikmah atau yang penting berisi
pelajaran sejauh ia pahami dan diyakini dapat menjadi pelajaran bersama
terkait moral atau hal-hal yang pantas dan yang tidak pantas saja. Tapi,
tidak berisi soal halal-haram karena dia bukan anggota Majlis Ulama
Indonesia (MUI). Itu saja.
Dia, teman
temannya saya itu, sempat merasa bahagia setinggi langit, sebab saat
bertemu dengan neng itu selain dapat ucapan terima kasih, senyuman yang
sejuk bermakna dengan mata sipit uniqnya, dia juga dimintai
tulisan-tulisannya lagi, pertanda bahwa tulisannya dibaca, pikirnya.
Sehingga, dia semakin bersemangat untuk menulis. Dia merasa neng itu
betul-betul menjadi motivator sekaligus inspirator bagi
tulisan-tulisannya. Neng itu amat berharga bagi keberadaannya di
pesantren. Dari itu, dia kagum kepadanya.
Dalam sebuah
kesempatan, dia berbicara langung dengannya via telpon yang sebetulnya
ini menjadi suatu hal yang dia dambakan semenjak nyantri di pesantren
itu, ingin ngomong dengan seorang neng cantik dan baik itu. Niatnya,
ingin menyampaikan terima kasih karena telah meluangkan waktunya untuk
membaca tulisan-tulisan yang dikirimkan kepadanya. Sekaligus mau meminta
maaf barang kali dalam catatan-catatannya itu ada banyak hal yang tidak
disukainya yang mengganggu aktifitas belajarnya. Apalagi saat nelpon
itu, neng itu telah berterus terang bahwa dia telah sedikit terganggu
karena dia sedang menghafal Al-Quran. Menghafal Al-Quran kok ditelpon. Kan
memang salah. Namun, dengan itu dia (temannya teman saya itu) lebih
yakin lagi bahwa neng itu sejatinya adalah baik dan santri yang serius
belajar, santri yang lemah lembut, berani untuk benar, dan dewasa, bukan
orang yang hobi keluar pondok berpacaran, apalagi dibilang binal atau
kegatelan. Itu tidak benar.
Bahkan, saking
dewasanya, pikirnya, di sela-sela obrolannya tersebut neng itu
melontarkan sebuah ucapan yang seakan menjadi kritik amat pedas bagi
catatan-catatannya sekaligus pada dirinya, bahkan dia terkesan
mengajarinya: “Sampean ketahui saja bahwa setiap manusia pernah punya
dosa sendiri-sendiri yang diurus sendiri-sendiri.” Katanya.
Ucapan sekilas
tersebut seakan menjadi tonjokan paling keras pada mukanya seumur
hidupnya. Sebab, seakan ingin mengatakan bahwa apa yang dia lakukan
mulai dari isi tulisannya sampai obrolan via telpon itu untuk mengurus
urusan orang lain (dirinya: neng itu), sok ngurus dan sok suci
sendiri, sekaligus sehingga neng itu merasa dirinya seakan membela diri
bahwa wajar dengan dosa-dosanya yang gatel pacaran tersebut sesuai
dengan prinsipnya itu, bahwa manusia memiliki dosa masing-masing yang
diurus masing-masing. Menangkap kesan ucapan neng untuk dirinya itu
demikian, dia akhirnya memilih memohon maaf tak terhingga, meski ucapan
atau kesan itu terasa sangat mengacak-ngacak hatinya. Dia pahami bahwa
neng itu salah paham kepada prilakunya dengan mengirim catatan-catatan
dan menelpon itu. Di samping itu, dia juga merasa bahwa
catatan-catatannya selama ini mungkin ada banyak yang isinya tidak
sesuai dengan hatinya, atau bahkan terkesan sengaja menyinggung dan
menyakiti hatinya.
Apalagi,
jikalau neng itu merasa, apalah artinya dirinya bagi neng itu yang
anaknya kiai, padahal dirinya anaknya seorang tani miskin yang tak punya
kelebihan apa-apa, sok kenal, dan sok memberi nasehat dengan pakai sok
pinter nulis segala. Bukankah neng itu lebih tinggi, anaknya kiai, lebih
suci dan terhormat? Dia merasa tentang neng itu demikian. Akhirnya,
sekali lagi, dia cuma bisa memohon maaf dan membisu diri, memaklumi
dirinya telah salah jalur, bukan dunianya. Sehingga, dia juga hanya bisa
berharap semoga kesalahpahaman ini tak terjadi berlanjut. Apalagi,
andai dia disuruh jujur, sebetulnya dia menyimpan gelora dahsat amat
sayang dan kagum di hatinya kepada neng itu. Entah, apakah karena memang
neng itu yang dikenal pertama kali di kalangan santri putri, atau
karena lainnya? Yang jelas, dia merasa neng itu telah menjadi motifator
dan inspirator bagi hobinya dalam menulis. Maka, dia tidak mau
menyakinya, bagaimanapun keadaaannya. Lalu, apakah dengan sikap neng itu
kepadanya harapannya diam-diamnya sebagai orang yang amat mengaguminya
akan luntur, entah! Andai kagum itu adalah cinta, kerap kali sang
pencinta rela disakiti yang dicintai hingga dia dapat mengerti.
Berselang tak seberapa lama dari fenomena obrolan via HP itu. Semua keluarga kiai tindakan
keluar pesantren sampai berhari, sehingga otomatis laju pesantren tidak
ada yang mengendalikan. Kecuali beberapa santri senior yang dikasih
amanat tapi tidak ada apa-apanya bagi santri yang lainnya, bahkan
dianggap sama. Dan, beberapa memang ada yang sama tak ada bedanya dengan
santri yang lain. Dari itu, tidak bisa dibayangkan bagaimana kondisi
pesantren dengan posisi demikian. Dan sudah pasti, paling tidak, leyeh-leyeh
santri makin bebas, obrolan romantis di dapur tambah asik, dan entah
apakah santri atau neng yang nekat keluar pacaran semakin ganas dan
kesit?
Yang terakhir
bisa nyata terjawab: di paginya hari itu, dari malam keberangkatan kiai,
dia mendengar ocehan santai teman-temannya di kamar, bahwa banyak teman
putra putri yang keluar. Itu memang pantas, sebab suasana pondok waktu
itu langsung sepi. Jangankan di pagi hari, beberapa detik dari
keberangkatan kiai itu saja santri-santrinya banyak yang sudah
bersiap-siap untuk tindak juga. Bahkan, di selentingan tersebut,
konon, ada yang sengaja keluar janjian saling berpasangan. Nah, diantara
yang tersebut itu adalah nama neng itu, yang masih tetap dengan
pasangannya dan temannya yang juga dengan pasangannya seperti
dulu-dulunya.
Mendengar itu,
dia tidak kaget lagi, meski pertama sedikit gelisah juga karena orang
yang ia kagumi dan harapkan seperti itu. Sebab, dia sudah memahami dari
sebelum-sebelumnya, bahwa maklum neng itu seorang neng putrinya kiai,
hafidzah lagi (meski masih beberapa juz), sehingga mungkin lebih dewasa
dan lebih bersih dari dosa sebagaimana prinsip yang pernah diucapkan itu
bahwa masing-masing orang pasti mengalami dosa yang ditanggung
masing-masing dan tidak ada orang lain yang mengurusnya. Sehingga, dari
itu neng itu bisa jadi berpikir: “Ini dosa saya, tidak ada orang lain
yang sok ngurus, istigfar gampang belakangan nanti kalau sudah saya
bersenang-senang”. Atau berpikir, “Apalagi ada abi yang jadi syafaat dan
santri-santri saya yang tiap hari pasti mendoakan. Apalah artinya dia
bukan apa-apa saya ngurus diri saya, sok perhatian, yah, kampret!”. Akhirnya, dia (temannya teman saya itu) memakluminya, dan diam bisanya.
Dari itu juga
dia berpikir, “Hebat neng itu, waktu ditelpon saya sebentar saja dan
untuk serius bilangnya mengganggu, tapi kalau keluar bermaksiat
lama-lama dengan doinya sampai-sampai meninggalkan tugas-tugasnya di
pesantren dia bangga. Hebat, pinter dan dewasa banget tuh neng, busyet!” Pikirnya jengah.
Hari itu juga,
neng itu memiliki piket ngajar tartil di pesantrennya (suasaranya
memang merdu) karena dia oleh kiai diangkat sebagai tenaga pengajar di
pesantren itu. Jadi, dia seorang ustadzah yang ngajar tiap hari. Nah,
karena saat itu neng itu belum datang dari “shopingria” dengan gendaannya itu otomatis santri-santrinya tidak ada yang mengajarinya. Kelas menjadi kosong.
Mereka bertanya kepada ustadzah di kelas sebelahnya, “Bu, bu guru saya mana kok nggak masuk?” Tanya mereka.
“Ooo..oooo, ibu gurumu itu sedang nggak enak badan.” Jawabnya meski terasa agak pedas di kerongkongannya.
Mendengar itu,
akhirnya para santrinya berhamburan menuju lapangan sempit depan kelas,
bersepak bola ria, dari pada kosong kegiatan, pikir mereka.
Mendengar
cerita ini saya berangan, andai ada saya maka saya akan menjawab
pertanyaan para santri itu begini: “ooo..ooo.., ibumu itu mulai tadi
pagi sedang janjian dengan pacarnya untuk berkencan di luar pondok
sana”. Saya tidak membayangkan kalau andai dijawab yang sebenarnya ini,
bagaimana jadinya, apa kata dunia! Tapi, mungkin ini terlalu kasar,
terlalu tega. Atau, mungkin benar kata orang pinter, “Tidak semua yang benar (sebetulnya) itu ditampakkan.” Entah! Neng itu mungkin lebih bijaksana untuk menjawabnya.
Sementara,
sang Aba (Kiai) dan Nyainya di kejauhan sana selalu gelisah seraya
berdoa: “Ya Allah, jagalah santri-santriku dari keburukan dan apa yang
Kau tidak sukai; selamatkan merekah dari fitnah dosa, mara bahaya, dan
bala musibah; luruskan hati mereka yang melenceng; dan tenangkan hati
mereka dengan segala kemudahan, barokah, dan ridho-Mu. Amin.” Lebih dari
itu, salawat dan ayat-ayat Al-Quran selalu menjadi hiasan hati dan
lisannya sepanjang perjalanan. Kiainya itu memang sangat amat sejati.
Sebab, dia terinspirasi dalam perjalanan, bahwa kerap dia temui gerak
gerik generasi yang rusaknya sudah kelewat batas jauh dari agama, mereka
bukak-bukaan berlaku dosa; kerapkali ketika melewati jalan-jalan atau
taman-taman kota dia menyaksikan dari jendela mobilnya pemuda pemudi
yang sedang duduk berdampingan bermaksiat ria seakan tak punya rasa malu
dan dosa. Selain itu, hampir semua kaum Hawa di manapun yang dia lihat
di perjalanan bergaya dan berbusana bukak-bukaan, mereka seakan bangga
memamerkan kemolekan tubuhnya. Sesekali Pak Kiai itu menangis karena
itu. Lalu, dia khusuk berdoa itu.
Di atas sana,
burung-burung sarkiti yang menyaksikan bergumam ceplas ceplos melihat
kiai berdoa itu, “Hai pak kiai, untuk sementara doamu itu tidak diterima
oleh Allah, ditunda. Sebab, sampean tahu, santri-santrimu di pesantren
sekarang satu dua yang masih tetap setia kepadamu, yang masih belajar
dan tetap pateng mengaji dalam ketiadaanmu ini. Sedangkan yang lain,
andai sampean tahu: mereka bersepak bola ria orak-orakan; pesta musikan
keras-kerasan; beberapa diantara mereka yang saat ada sampean selalu
berkopyak putih bergaya alim sekarang di sana sedang dilepas dan-masaallah-rambutnya
warna-warni layaknya brandalan di jalanan itu; bahkan beberapa diantara
mereka yang manggut-manggut di depan sampean, yang sampean pandang
mereka baik-baik, santri-santri pilihan, neng-neng, gus-gus,
ustadz-ustadzah, yang sering sampean suruh jadi imam salat, tukang
adzan, pemimpin salawatan, kami lihat mereka sedang keluar janjian
kencan dengan pasangan masing-masing, mereka bermaksiat ria di kota-kota
sampai-sampai mereka lupa salat, tak ada bedanya dengan mereka-mereka
yang kurang ajar di luar pesantren yang sering sampean temui di
jalan-jalan itu dan sampean menangis karenanya.” Begitulah sang burung
mengadukan. Namun, apalah daya sang burung, Pak Kiai santai saja tidak
memahaminya.
Di pesantren,
sang neng datang ala santri alim dan serius, berbusana muslimah yang
lumayan necis dan berwibawa, tidak lepas menebar senyuman sejuk kepada
teman-temannya di kamar, menyapa mereka dengan lembut, sopan, sangat
amat akrab, serta ceriah sebagaimana memang menjadi sikapnya
sehari-hari. Seraya membawa oleh-oleh yang manis-manis seperti
senyumannya. Teman-temannya sangat amat suka kepadanya. Dan kemudian,
dia tidur-tiduran di atas kasur empuknya seraya terbayang: suasana
romantis seharian dengan sang kasih, obrolan yang ceria, canda yang
manja, dan ……yang amat nikmat, nikmat, dan nikmat. Teman-teman di
sebelahnya bergerombol tak kalah bahagianya mengerubungi oleh-oleh
darinya.
Dari cerita di
atas, kalau boleh saya menyumbang obrolan untuk teman temannya saya
itu, maka saya akan titip salam terkhusus kepada neng yang kayaknya
makin binal itu, begini: “Neng, apakah sampean tidak berpikir atau
bertanya-bertanya kepada diri sampean sendiri ketika sampean berangkat
mengajar santri-santrimu dari kamarmu, apakah saya ini sudah memang
pantas jadi ustadzah ngajar mereka, ini salah itu benar, ini pantas itu
tidak, ini haram itu halal, dll? Atau, apakah saya ini sudah benar-benar
membaca, menghafal, dan menghayati, dan mengajari Al-Quran, pantaskah
saya sabagai hafidhoh? Atau, sudah betul-betul pantaskah saya menjadi
seorang santri, anak kiai, neng, gus, yang diharapkan masyarakat?"
Kalau tidak,
maka sudah semestinya sampean, saya, kita, dan teman-teman santri semua
hendaknya memikirkan kembali dan menata ulang semua diri kita: niat dan
prilaku kita sebagai santri dan generasi Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar