Gaya “Bercinta” Ala Santri: Ngeri-ngeri Sedap Bung!
Sebut saja namanya Lalaki. Senior di “Forum Diskusi
Bambu Runcing”. Malam minggu kemarin, ia menyempatkan hadir sekaligus
“curhat” kisah cintanya yang kandas di tangan pengurus saat mondok di
salah satu pesantren terkenal di daerah Tasikmalaya.
Mengenal sosok wanita dan berpacaran dengannya merupakan pengalaman
tersendiri, yang menjadi “bumbu” penyedap di tengah kepenatan aktivitas
mengaji di pondok. Sayang, meski cinta “Lalaki” tak bertepuk sebelah
tangan, ia harus merelakan “tali” kasihnya dipotong pengurus, sekaligus
merelakan helai demi helai rambutnya yang gondrong sebahu.
Memang, selama saya berada di pondok merasakan hal yang sama. Sebagai
makhluk berjenis kelamin pria, tentu saya mempunyai rasa ketertarikan
terhadap lawan jenis. Namun, sebagai santri, saya harus mentaati segala
peraturan yang telah ditetapkan oleh pondok pesantren yang saya berdiam
di dalamnya.
Selama ini, kesempatan bertemu “makhluk” bernama wanita di lingkungan
pondok sangat terbatas. Beruntunglah saya bukan santri pondok biasa,
melainkan dibarengi dengan sekolah. Dengan demikian, kesempatan saya
untuk mencuci “libido” saya lebih leluasa dibandingkan santri yang
berstatus mondok permanen.
Selain di sekolah, jangan harap santri pria dapat bertemu dengan santri
wanita, seperti yang sering digambarkan di sinetron-sinetron picisan
mengenai kehidupan pesantren. Tempat mengaji yang terpisah dan tempat
beribadah yang terpisah pula menjadi “tembok” tebal untuk menikmati
keindahan ciptaan Tuhan bernama wanita.
Di saat rasa rindu dan kebutuhan akan romantisme ala anak muda
menyeruak, memenuhi setiap jengkal relung sanubari, kami hanya bisa
menatap nanar kobong (tempat mondok) para santri wanita yang terletak di
atas rumah Kiai dan persis di sebelah Masjid Pria.
Hampir setiap malam, bagi santri-santri “pemuja”, menatap ke atas rumah
Kiai sembari menggoreskan luapan cintanya di atas selembar kertas putih.
Esoknya, kertas itu dititipkan kepada santri yang -kebetulan-
bersekolah. Persis seperti menitip surat kepada pak pos. Bedanya surat
yang ini tanpa perangko dan -biasanya- memakai embel-embel, “Mohon
dirobek atau dibakar setelah membaca”.
Bukan kenapa, melainkan bahaya besar dan termasuk siaga satu bila surat
itu jatuh ke tangan pengurus pondok yang telah ditetapkan secara
musyawarah. Hukuman telah menanti. Dari disuruh menalar kitab, dibotaki,
hingga dipanggil kedua orang tuanya. Jadi wajar surat itu memakai
embel-embel tersebut di paragraf terakhir, dengan kata-kata NB: yang
besar.
Dengan menyimak kisah di atas, wajar saja jika santri jaman dahulu
sering dijodohkan oleh kiai-nya sendiri. Atau kalau tidak mereka
biasanya telat untuk menikah. Tapi itu juga tergantung individu
masing-masing. Namun, di pesantren saya, santri yang menetap (non
sekolah) biasanya memang berstatus “bujang lapuk” dibandingkan dengan
santri yang bersekolah.
Bagaimana dengan saya?. Saya, sebagai pria, jelas merasakan dorongan
“libido” yang sama. Namun, mengingat besarnya harapan orang tua kepada
saya, saya harus menempatkan kepercayaan orang tua dengan semestinya.
Untuk saat ini, sebagai pelipur lara di kala malam, cukup-lah buku-buku
yang menemani segala kegalauan hati yang saya alami.
Walhasil, “bercinta” di Pesantren itu bak peribahasa “Ngeri-ngeri sedap”!.
Salam berang-berang.
Selamat menikmati hidangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar